08/06/12

Mobil Listrik Indonesia

Ngambil gambar dari detik.com:
Komentar pertama yang terlintas, sepertinya ukuran ban masih terlalu besar, mungkin ukuran yang dipakai 185 R13. Rolling resistance (hambatan mekanis dari roda yang berputar) tentu cukup besar. Mungkin lebih baik menggunakan ukuran 165 R13, mengingat dimensi dan bobot yang sepertinya cukup ringan. Lepas dari hal itu, imho desainnya sudah oke. Teringat Kiat Esemka yang desainnya lumayan :)

28/05/12

CSR dan Kontradiksinya

Tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility, CSR) adalah bentuk pengaturan diri perusahaan yang diintegrasikan ke dalam model bisnis. Tujuan dari CSR adalah untuk merangkul tanggung jawab atas tindakan perusahaan dan mendorong dampak positif melalui kegiatan terhadap lingkungan, konsumen, karyawan, masyarakat, stakeholder dan semua anggota lain dari ruang publik yang juga dapat dianggap sebagai stakeholder. Yaah, tanggung jawab moral perusahaan lah.. Istilah CSR mulai umum digunakan pada akhir tahun 1960 dan awal 1970-an, setelah banyak perusahaan multinasional membentuk stakeholder yang panjang, yang berarti pada siapa saja kegiatan organisasi mereka memiliki dampak. (Wikipedia)

Sebagai kontradiksi terhadap keberlangsungan CSR, ada pendapat yang menyatakan bahwa jika perusahaan berproduksi dan saling bersaing secara sehat serta melaksanakan kewajiban pajak mereka, dan saat yang sama Negara menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga, produktifitas warga untuk memenuhi dan mempertahankan kualitas hidup terbaik mereka, serta kemampuan warga merawat fungsi-fungsi alam, CSR sama sekali tidak dibutuhkan. CSR adalah penanda simbolik ketidakberesan bisnis sebuah perusahaan dan saat yang sama merupakan penanda bobroknya pengurusan Negara. (ruang-baca.blogspot.com)

08/05/12

16/04/12

'Toughest Place To Be A Bin Man'

“Toughest Place to be…” di stasiun BBC Two merupakan serial “Jika Aku Menjadi” nya BBC. Toughest Place to be a Bin Man adalah salah satu seri yang mengangkat kisah tentang kehidupan warga Indonesia, seorang tukang sampah di Jakarta bernama Imam Syafii. Tukang sampah dari London, Wilbur Ramirez, menjalani pengalaman 10 harinya di Jakarta untuk menjadi pengumpul sampah. Ia meninggalkan truk sampah hi-tech nya yang dilengkapi AC untuk bergabung dengan keseharian Imam menarik gerobak sampah di jalanan Jakarta.

Foto Wilbur dengan Walikota London setelah ia membintangi acara ‘Toughest Place to be…’


Imam seperti halnya para tukang sampah di Jakarta berkeliling dari rumah ke rumah di wilayah kerjanya (sekitar 100 rumah) dengan menarik gerobak sampah. Pakaian dan alas kaki (bahkan Imam bertelanjang kaki) yang dipakai tidak ada bedanya dengan keseharian. Tidak ada yang khusus. Tidak juga ia memakai alat canggih untuk membantu mengambil sampah dari setiap rumah dan memasukannya ke dalam gerobak. Selain gerobak, ia hanya membawa sapu dan keranjang. 

Meskipun ada beberapa rumah yang memasukan sampah ke dalam kantung-kantung plastik, tidak sedikit yang menumpuk sampah begitu saja di lubang sampah di tembok depan rumah. Kerja tambahan bagi Imam. Apalagi dengan tanpa kebiasaan dan aturan untuk melakukan recycling, maka segala jenis sampah bercampur menjadi satu.

Kadang, seperti yang disaksikan Wilbur, Imam juga membersihkan got di depan rumah karena sampah yang tidak ditaruh di plastik oleh penghuni rumah berceceran dan sebagian menyumbat saluran air. Tidak jelas apakah membersihkan got termasuk dalam tanggung jawabnya, tetapi Imam melakukannya karena takut penghuni rumah mengadukan kerjaannya tidak beres. Sekali diadukan maka dengan mudah ia dipecat dari pekerjaannya. "Saya dan keluarga makan apa?", katanya membayangkan kalau hal itu sampai terjadi pada dirinya. Pekerjaan sebagai tukang sampah yang dibayar di Jakarta sangat berharga karena memperoleh upah rutin dan hanya ada sekitar 3000 orang di Jakarta. Mudah saja untuk memecat tukang sampah, karena masih banyak orang lain yang menginginkan pekerjaan tersebut.


 "Pekerjaan ini menuntut kekuatan fisik lebih besar dari yang saya bayangkan. Gerobak ini beratnya nyaris mencapai 1 ton dan dia biasanya menariknya seorang diri. Hari ini, saya menariknya bersama dia dan saya sudah banyak berkeringat," tutur Wilbur yang bertubuh gempal.


Setelah menyelesaikan pekerjaan pemungutan sampah, Imam pun masih harus melakukan pekerjaan lain. Upah yang diterima dari pemungutan sampah hanya cukup untuk membayar sewa tempat tinggal, sehingga ia dan keluarganya melakukan pekerjaan selanjutnya yaitu ‘mendaur ulang’, atau lebih tepatnya memulung. Dari sampah yang dikumpulkan, mereka menyortir dan mengumpulkan apapun yang bisa dijual kembali. Pekerjaan menyortir selama tiga malam dapat mengkasilkan 28 ribu rupiah. Nilai tersebut sangat menentukan apakah meraka akan makan atau tidak makan. Kondisi Imam masih jauh lebih baik dari sekelompok orang lainnya. Di TPA Bantar Gebang, beberapa ribu orang menggantungkan hidup hanya dari memulung sampah.



Imam sendiri pasrah atas pekerjaan yang diakuinya berat itu. Imam mengatakan bahwa Semua itu demi keluarganya. “Meskipun ini berat, saya harus melakukannya karena saya tak punya keahlian lain. Saya akan melakukan pekerjaan apapun untuk keluarga saya,” cetusnya. Windi, istri Imam pun memuji kerja keras suaminya itu. “Kami tak punya banyak uang, tapi saya tetap bahagia karena suami saya bekerja keras untuk mengurus saya dan putra saya,” kata Windi.


Inggris yang merupakan negara kapitalis ternyata masih dapat lebih menghargai profesi tukang sampah. Hal ini merupakan indikasi bahwa ada masalah sosial dan kemanusiaan pada kehidupan masyarakat di Indonesia.  Salah satunya, praktik kapitalisme dan liberalisme yang sesungguhnya terjadi di negara ‘Pancasila’ ini telah membuat jurang pemisah yang besar antara si kaya dan si miskin. Selain itu kepekaan, simpati dan empati sosial masyarakat khususnya di perkotaan sepertinya semakin hilang.

28/02/12

'Multitasking' is NOT productive

Minggu lalu Bu Yul, seorang pengajar, nyeletuk tentang tidak produktifnya multitasking. Baru sekarang saya sempatkan browsing sedikit, dan menemukan banyak artikel. Berikut ini ada sebuah artikel di urutan atas laman mbah Google, dan sebuah artikel tautan di dalamnya :)


Technology: Myth of Multitasking

Dilanjutkan dengan artikel ini:

How (and Why) to Stop Multitasking

Dan masih buanyak artikel lainnya bertebaran di internet.


Semoga bermanfaat :)

04/01/12

Naik Kereta Api Ekonomi



Pernah naik Kereta Api?
Berapa kali? Seberapa sering?
Dari mana menuju mana?
Naik gerbong kelas apa?

Saya sendiri cukup sering naik KA pada tahun 2006-2009. Waktu itu, selesai sekolah di Surabaya, diterima kerja di pinggiran Jakarta. Waktu itu, baru kenal dengan calon bini, jadi dibela-belain sekitar sebulan sekali balik ke Surabaya :)

Naik gerbong kelas apa? Naik kelas ekonomi dong :D, cuma 50 ribu. Sementara kelas bisnis waktu itu 130 ribu, dan kelas eksekutif 200 ribuan. Kadang bareng teman-teman, tapi lebih sering berangkat sendiri saja.

Nyaman atau enggak?

Ekonomi? Relatif enggak nyaman. Tapi bukan masalah besar bagi saya.


Kenapa enggak nyaman?

Pertama, waktu perjalanan paling panjang. Berangkat jam 3 sore, tiba antara jam 7-9 pagi esok hari (16-18 jam). Kereta eksekutif dan bisnis sekitar 12-14 jam.


Kedua, biasanya penuh sesak. Penumpangnya ya didominasi MBR (masyarakat berpenghasilan rendah). Waktu itu jumlah penumpang nyaris tidak dibatasi. Kapasitas standar 108 kursi penumpang per gerbong, masih ditambah penumpang dengan 'tiket tanpa tempat duduk'. Mereka duduk di selasar gerbong dan di akses keluar/masuk gerbong. Kalo pas mau ke toilet, kita harus melangkahi mereka yang duduk di selasar.
Paling sadis kalo pas musim mudik. Saking penuhnya, penumpang yang tiketnya 'tanpa tempat duduk' enggak bisa duduk di selasar, bisa berdiri terus dari Jakarta sampai Surabaya!


Ketiga, hawanya panas. Enggak ada kipas angin seperti kelas bisnis, apalagi AC seperti kelas eksekutif.

Ada satu catatan penting saya di pon ke-3 ini. Pernah satu kali (mungkin sekali seumur hidup) naik gerbong yang exhaust fan nya berfungsi. Dan sepanjang perjalanan enggak ada ceritanya keluar keringat karena gerah. Hawanya benar-benar dingin! Asli lebih nyaman dari naik gerbong kelas bisnis, yang pake kipas angin di langit-langit gerbongnya, tapi cuma mengaduk-aduk udara di dalam gerbong tanpa ada sirkulasi udara! Dan buat saya, lebih nyaman dari naik gerbong kelas eksekutif, yang dingin AC-nya keterlaluan hingga tidak bisa tidur dengan nyaman!


Dengan revolusi KAI saat ini yang meniadakan 'tiket tanpa tempat duduk' untuk kenyamanan penumpang, saya rasa bukan hal yang berat untuk memfungsikan kembali exhaust fan di gerbong kelas ekonomi dan bisnis. Dengan pengalaman perjalanan tadi, saya percaya tingkat kenyamanan penumpang akan meningkat jauh.